8 Abad Gurita Korupsi dalam Sejarah Negeri
Diposting oleh
NandoCyberlink
Selasa, 23 Oktober 2012 at 18.41
0
komentar
Labels :
Sebagai sebuah ‘makhluk’ raksasa penebar kejahatan luar biasa abad ini, gurita korupsi ‘turun ke bumi’ bukan dengan ujug-ujug sim salabim abra kadabra, melainkan
lewat proses evolusi dan mutasi genetik dalam perjalanan sejarah
budaya-tradisi. Jika ingin melumpuhkan korupsi, lumpuhkan guritanya.
Jika ingin melumpuhkan gurita, galilah filosofi kemunculannya berikut
karakteristik spesifik perilakunya, baru kemudian diputuskan langkah
‘luar biasa,’ apakah harus meng’amputasi’, meng’aborsi’ atau bila perlu,
mencegah reproduksinya.
Secara anatomi, gurita
memiliki 8 lengan dengan alat penghisap pada lengan yang digunakan
untuk bergerak di dasar laut dan menangkap mangsa. Ini seakan menjadi
simbol dari jangkauan korupsi yang multi dimensi, 8 penjuru arah mata
angin, seluruh ruang wilayah negara dari Sabang sampai Merauke, dari
pusat kota metropolitan sampai pelosok dusun terpencil di dalam hutan.
Jangkauan lengan gurita dalam sejarah nusantara setidaknya telah diawali sejak 8 abad silam, babak pertama ‘embrio gurita’ korupsi dalam Mpu Gandring Gate di masa
kerajaan Singasari abad 13. Sebuah tragedi
kudeta berdarah bermotif
syahwat tahta dan cinta berkonspirasi dengan ketidaksabaran seorang anak
manusia, Ken Arok mengawali perebutan kekuasaan atas Adipati Tunggul
Ametung sekaligus cinta sang Isteri adipati, Ken Dedes. Serial drama
beraroma dendam, pengkhianatan dan kudeta akhirnya memakan korban tujuh
nyawa. (boleh baca: Republik Burnaskopen dan Sindroma Mpu Gandring ).
Perkembangan gurita
korupsi dalam sejarah berlanjut dengan kudeta (pemberontakan) besar
terjadi pada era Majapahit, Demak, dan Banten. Bahkan, kehancuran
kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah lebih
disebabkan karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.
Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya penerus kerajaan
sepeninggal Balaputra Dewa. Majapahit hancur karena adanya perang
saudara (Perang Paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan
Mataram lemah karena dipecah belah dan dipreteli giginya oleh Belanda.
‘Embrio’ gurita
korupsi semakin lama bukan melemah, justru semakin bertumbuh-kembang,
seiring pertambahan jumlah penduduk. Segala upaya yang dikerahkan
pemerintah semenjak pasca kemerdekaan hanga pasca reformasi di hari ini
selalu mengalami nasib yang sama. Dalam sejarah perang
panjang ‘melumpuhkan’ gurita korupsi, tercatat pula setidaknya 8 lembaga
bentukan pemerintah, Paran (Panitia Retooling Aparatur
Negara), Operasi Budhi-masa orde lama, TPK (Tim Pemberantasan Korupsi),
Opstib (Operasi Tertib)-masa orde baru, KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha),
TGPTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi)-masa orde reformasi. Namun nampaknya
‘operasi amputasi’ untuk memotong lengan gurita semuanya bernasib sama,
bangsa ini nampak sehat sesaat, lalu lunglai dan megap-megap lagi dalam belitan gurita korupsi.
Bahkan
seperti proses mutasi yang masih menuju kesempurnaan, gurita yang
tumbuh dengan lengan baru akan hadir kembali dengan peningkatan stamina
dan cara kerja yang lebih mumpuni dari sebelumnya. Kita lupa, bahwa ada
hal menakjubkan dari gurita, beberapa spesies dari mereka ada yang
memiliki ‘kesaktian’ dengan mekanisme pemutusan lengan sendiri (ototomi) mirip cicak dan beberapa spesies kadal yang
memutuskan ekor sewaktu melarikan diri. ‘Operasi amputasi’ hanya
permainan kecil dari gurita. Gurita korupsi dan para koruptor terkini
memang dua ‘makhluk’ luar biasa!
Jangan heran jika
sampai hari ini aparat penegak hukum (terutama KPK) hanya dipermainkan
dengan menangkap potongan lengan gurita (koruptor) seakan-akan telah
sukses menangkap tersangka, padahal itu koruptornya sendiri telah jauh
entah di mana. Mekanisme yang sama seperti gurita yang tinggal menunggu
tumbuh lengan baru dan menjadi normal seperti sedia kala, koruptor dalam
pelariannya juga tinggal menunggu pemulihan dirinya menjadi manusia
normal kembali.
Alhasil, dihadapan
gurita kita hanyalah sekawanan cumi-cumi kurcaci yang sedang bergerilya
dalam kobaran semangat membara. Era Reformasi yang diharapkan menjadi
gerbang dari ‘pemusnahan’ gurita korupsi Orde Baru, nampaknya justru api
semakin jauh dari panggang. Alih-alih memberantas KKN-isme (yang
menjadi simbol perlawanan rakyat untuk melengserkan Soeharto) yang ada
justru menjadi hari ‘H’ bagi lahirnya gurita raksasa korupsi di bumi
Indonesia.
Yang jelas, sampai di
era reformasi periode kedua pemerintahan presiden SBY, sejarah perang
melawan korupsi tak lebih dari catatan perang persepsi dalam angka-angka
dan data statistika. Bahkan jika dibandingkan dengan masa Orde Baru dan
sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan oleh ‘embrio-embrio gurita’
kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi sudah melahirkan
gurita korupsi sebenarnya, seluruh elemen penyelenggara negara dan
rakyat bersimbiosis untuk membentuk ‘mutan’ gurita berskala nasional
berkelas internasional.
Gurita, meskipun masih menjadi bahan perdebatan, dikenal sebagai hewan paling cerdas di antara semua hewan invetebrata.
Jangan pernah meremehkan kecerdasan koruptor. Dalam mekanisme kerja dan
pertahanan diri, selain ototomi gurita mahir memainkan dua langkah
lainnya. Cara paling populer adalah pengelabuan tinta yang disemburkan
ketika menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Persis seperti
kemahiran para koruptor menghilangkan jejak dengan menyisakan kegelapan
dan misteri. Hambalang mengambang, Wisma Atlet macet, Century
tersembunyi. Ketiganya menjadi potret terkini bagaimana ‘operasi
amputasi’ gurita korupsi hanya membuang-buang energi, padahal di sisi
lain energi negeri ini sudah hampir terkuras habis sehingga perlu
‘dipaksakan’ penghematan jika kita masih ingin hidup lebih lama lagi.
Gurita memang luar
biasa. Masih ada satu strategi lagi baginya untuk pertahanan dari
serangan dan ancaman musuh dan bahaya, kamuflase (penyamaran) dengan
berganti kostum (warna kulit) sesuai warna dan pola lingkungan sekitar.
Sebagian dari jenis gurita seperti gurita mimic bahkan bisa menggerakkan lengan-lengannya untuk meniru gerakan hewan laut yang lain sebagai cara mengelabui musuh.
Tak beda dengan para
koruptor yang pintar menyamar dengan berganti kostum dan perilaku
seperti orang bersih sehingga gerakan dan aksinya tidak terdeteksi.
Bagaimana kita mampu menangkapnya, jika sebagian dari mereka yang
berdiri di barisan ‘pemburu koruptor’ ternyata ‘agen-agen’ gurita yang
sedang menyamar dengan cara luar biasa? Bagaimana jika antara ‘pemburu’
dan ‘buruan’ sudah tak terlihat lagi bedanya? Lagi-lagi, luar biasa!
Yang menjadi petaka
sebenarnya adalah jika kita tahu kemampuan regenerasi gurita. Setelah
dibuahi, gurita betina bisa bertelur hingga sekitar 200.000 butir. Jika
saat ini gurita korupsi sudah sedemikian merusaknya bagi tatanan
kehidupan, tak perlu dibayangkan apa yang akan terjadi dalam satu
generasi lagi. Dalam beberapa generasi saja gurita akan mampu mengubah
sebuah negara surga menjadi neraka dunia. Negeri gurita korupsi terbesar
di jagad raya! Tidak ada waktu untuk berleha-leha. Untuk menyelamatkan
negeri ini harus diambil langkah luar biasa untuk menghancurkan
kejahatan luar biasa!
Gurita korupsi dengan 8
lengan belitannya membawa krisis multi dimensional di 8 aspek kehidupan
nasional, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan
dan keamanan. Jika boleh menganggap 8 aspek itu sebagai 8 sel utama
yang bersinergi menjadi sumber nyawa gurita, maka untuk melumpuhkannya
mesti dilakukan dengan melumpuhkan semuanya secara serentak. Dan itu tak
bisa dilakukan dengan mengandalkan sebuah lembaga legal formal bentukan
pemerintah.
Jika Lord Acton pernah
berkata, “Kekuasaan itu cenderung korup,” maka seorang teman juga ada
yang berkata, “Manusia itu cenderung untuk berkuasa.” Dan kita juga bisa
berkata, “Setiap manusia cenderung korup dan otoriter.” Jika terpaksa
memakai paradigma kekuasaan sebagai dasar untuk meretas jalan masuk
‘melumpuhkan’ gurita, maka kita juga harus konsisten dengan sistem
kekuasaan di negeri ini, bahwa dalam negara demokrasi, setiap jiwa dari
rakyat punya potensi untuk berkuasa. Regenerasi kepemimpinan sudah
menjadi keniscayaan.
Sedikit
belajar dari sejarah, kesuksesan Belanda menancapkan gurita
kolonialisasinya lebih disebabkan oleh kokohnya akar “budaya korup”
masyarakat-bangsa Indonesia, maka melalui politik “Devide et Impera”
mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara. ‘Embrio’ gurita harus
dilihat sebagai sebuah insting dasar manusia yang akhirnya terbentuk
menjadi budaya.
‘Embrio’ gurita
korupsi itu ada dalam dada 240 juta manusia Indonesia. Generasi kini
adalah generasi korup dengan budaya korup. Potong satu generasinya untuk
memotong siklus reproduksi gurita korupsi! Jika setiap jiwa berperang
melawan budaya korupsi secara bersama-sama, reproduksi gurita korupsi
akan berhenti cukup sampai di sini, generasi ini.
Selama 800 tahun kita
tak pernah mampu ‘melumpuhkan’ gurita korupsi di nusantara. Mestinya
waktu selama itu sudah cukup membuat kita jera menjadi bangsa bebal
dengan selalu gagal menangkap nilai-nilai filosofi yang sejatinya selalu
tergelar lebar-lebar di depan mata. “Potong satu generasi korup hari
ini!”. Jika tidak, maka (kalau beruntung), mungkin kita harus menunggu
800 tahun lagi untuk bisa ‘melumpuhkan’ gurita korupsi. Atau mungkin
menunggu sang gurita lelah sendiri, atau menunggu sampai ia mati dimakan
usia, itupun jika bukan kita yang terlebih dahulu tereliminasi, punah
dalam seleksi alam yang tak pernah kita mengerti. ***
Salam…
El Jeffry
El Jeffry
Referensi:
sejarah-korupsi-di-indonesia-bagus.html (Amin Rahayu, SS)
Gurita wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
sejarah-korupsi-di-indonesia-bagus.html (Amin Rahayu, SS)
Gurita wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)